IntiSari9 - Khairani, siswi SMK Muhammadiyah Batam kebingungan. Dia terancam tak bisa ikut ujian nasional (UN) karena dilarang pihak sekolah. Penyebabnya, pelajar yatim piatu itu masih menunggak pembayaran SPP.
Selain menunggak sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), Khairani juga belum membayar biaya pemantapan UN. Sehingga total tunggakan yang harus dibayar senilai Rp 4 juta.
Jika tunggakan itu tak dilunasi, maka Khairani tak diizinkan ikut UN di sekolahnya. "Sekolah memperbolehkan ikut UN asal ada kepastian kapan tunggakan itu dibayar," kata Khairani dilansir Batam Pos (Jawa Pos Group), Jumat (1/4).
Bersama neneknya Siti Aisyah, 78, pelajar jurusan Teknik Komunikasi Jaringan (TKJ) ini sebenarnya sudah berupaya keras untuk melunasi tunggakan itu. Keduanya sudah pontang-panting mencari pinjaman.
Tekat Khairani cuma satu, ia harus ikut UN tahun ini. Namun sayang, mereka hanya mampu mengumpulkan uang sebesar Rp 500 ribu dari pinjam sana-sini.
Anak asuh Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam ini juga sudah mengadu ke pengurus LAZ Batam.
Namun pihak LAZ Masjid Raya tak mampu membantu Khairani melunasi semua tunggakannya itu. "Katanya kas LAZ lagi kosong," kata remaja yang mengaku belum pernah melihat wajah ayah kandungnya itu.
Oleh LAZ Masjid Raya, Khairani diarahkan agar mengadukan persoalan ini ke DPRD Batam. Ditemani tetangganya, Endang, kemarin (1/4) Khairani mendatangi Komisi IV DPRD Batam.
Dia menceritakan, sikap tidak adil pihak sekolah ini bukan yang pertama kalinya ia dapatkan. Sebelumnya, dia sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari pihak sekolah dan guru jika ia telat membayar SPP.
Kata Khairani, selama ini SPP-nya ditanggung LAZ Masjid Raya Batam. Namun jika LAZ telat membayar atau mentransfer uang SPP ke sekolah, dia dipanggil oleh gurunya dan dipermalukan di depan teman-temannya.
"Ini pelajar yang belum membayar SPP," kata Khairani menirukan ucapan gurunya, pada suatu ketika.
Tak hanya itu, saat ikut ujian semester, seorang guru juga merampas lembar soal Khairani. Guru itu melarangnya ikut ujian semester karena Khairani belum membayar SPP.
"Banyak juga (siswa) yang seperti saya, dipermalukan. Mereka terpaksa pulang," ujar siswi yang bercita-cita ingin kuliah ini.
Karena perlakuan ini, semangat belajar Khairani menurun. Nilai akademisnya terus merosot. Padahal, sejak SMP, dia selalu langganan juara kelas. Dia tak pernah lepas dari predikat juara satu atau dua.
"Sekarang sepuluh besar saja," katanya.
Khairani juga menceritakan, perlakuan diskriminatif pihak sekolah ini pernah dia rasakan sejak menjadi siswi SMPN 44. Bahkan sampai saat ini pihak SMPN 44 masih menahan ijazahnya karena Khairani masih memiliki sejumlah tunggakan biaya sekolah. Totalnya sekitar Rp 18 juta.
"Katanya gratis, pas mau ambil ijazah harus bayar Rp 18 juta," tutur wanita yang ditinggal mati ibunya ketika masih SD ini.
Menanggapi aduan ini, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam, Muhammad Yunus, meminta Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Batam segera turun tangan. Dia juga meminta Disdik Kota Batam memberikan sanksi kepada sekolah yang semena-mena itu.
"Bila perlu izinnya dicabut. Ada bantuan dari pemerintah, masa membantu orang miskin tak bisa," ungkapnya.
Namun, pihak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Muhammadyah Batam di Batuaji membantah Khairani dilarang ikut UN karena menunggak SPP. Pihak sekolah menilai langkah Khairani yang mengadukan masalah ini ke DPRD Batam merupakan tindakan yang berlebihan.
Wakil Kesiswaan SMK Muhammadiyah Batam, Agus, membenarkan jika Khairani memiliki tunggakan senilai Rp 4.110.000. Tunggakan itu terdiri dari uang SPP mulai September 2015 sebanyak Rp 2.445.000 dan sisanya adalah tunggakan administrasi sekolah.
Namun demikian, Agus menegaskan pihak sekolah sama sekali tak mengeluarkan larangan kepada Khairani untuk tidak mengikuti UN tahun ini. "Itu tidak benar. Kalau lah kami mau (melarang UN) sudah dari dulu waktu ujian semester atau ujian akhir sekolah (UAS)," kata Agus, Jumat (1/4).
Agus mengakui, selama ini pihak sekolah sudah berkali-kali mengeluarkan peringatan kepada Khairani agar segera melunasi tunggakan itu. Namun Agus kembali menegaskan, peringatan itu bukan berarti larangan ikut UN.
Menurut Agus, peringatan pihak sekolah itu dinilai masih wajar. Sebab sejak September 2015, Khairani belum membayar SPP. Bahkan Khairani dinilai tidak punya itikad baik untuk membayarnya.
"Ya itu wajarlah, dimanapun sekolahnya kalau dicuekin sama sekali begitu pasti ada warning-nya," kata Agus.
Selain menunggak sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), Khairani juga belum membayar biaya pemantapan UN. Sehingga total tunggakan yang harus dibayar senilai Rp 4 juta.
Jika tunggakan itu tak dilunasi, maka Khairani tak diizinkan ikut UN di sekolahnya. "Sekolah memperbolehkan ikut UN asal ada kepastian kapan tunggakan itu dibayar," kata Khairani dilansir Batam Pos (Jawa Pos Group), Jumat (1/4).
Bersama neneknya Siti Aisyah, 78, pelajar jurusan Teknik Komunikasi Jaringan (TKJ) ini sebenarnya sudah berupaya keras untuk melunasi tunggakan itu. Keduanya sudah pontang-panting mencari pinjaman.
Tekat Khairani cuma satu, ia harus ikut UN tahun ini. Namun sayang, mereka hanya mampu mengumpulkan uang sebesar Rp 500 ribu dari pinjam sana-sini.
Anak asuh Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam ini juga sudah mengadu ke pengurus LAZ Batam.
Namun pihak LAZ Masjid Raya tak mampu membantu Khairani melunasi semua tunggakannya itu. "Katanya kas LAZ lagi kosong," kata remaja yang mengaku belum pernah melihat wajah ayah kandungnya itu.
Oleh LAZ Masjid Raya, Khairani diarahkan agar mengadukan persoalan ini ke DPRD Batam. Ditemani tetangganya, Endang, kemarin (1/4) Khairani mendatangi Komisi IV DPRD Batam.
Dia menceritakan, sikap tidak adil pihak sekolah ini bukan yang pertama kalinya ia dapatkan. Sebelumnya, dia sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari pihak sekolah dan guru jika ia telat membayar SPP.
Kata Khairani, selama ini SPP-nya ditanggung LAZ Masjid Raya Batam. Namun jika LAZ telat membayar atau mentransfer uang SPP ke sekolah, dia dipanggil oleh gurunya dan dipermalukan di depan teman-temannya.
"Ini pelajar yang belum membayar SPP," kata Khairani menirukan ucapan gurunya, pada suatu ketika.
Tak hanya itu, saat ikut ujian semester, seorang guru juga merampas lembar soal Khairani. Guru itu melarangnya ikut ujian semester karena Khairani belum membayar SPP.
"Banyak juga (siswa) yang seperti saya, dipermalukan. Mereka terpaksa pulang," ujar siswi yang bercita-cita ingin kuliah ini.
Karena perlakuan ini, semangat belajar Khairani menurun. Nilai akademisnya terus merosot. Padahal, sejak SMP, dia selalu langganan juara kelas. Dia tak pernah lepas dari predikat juara satu atau dua.
"Sekarang sepuluh besar saja," katanya.
Khairani juga menceritakan, perlakuan diskriminatif pihak sekolah ini pernah dia rasakan sejak menjadi siswi SMPN 44. Bahkan sampai saat ini pihak SMPN 44 masih menahan ijazahnya karena Khairani masih memiliki sejumlah tunggakan biaya sekolah. Totalnya sekitar Rp 18 juta.
"Katanya gratis, pas mau ambil ijazah harus bayar Rp 18 juta," tutur wanita yang ditinggal mati ibunya ketika masih SD ini.
Menanggapi aduan ini, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam, Muhammad Yunus, meminta Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Batam segera turun tangan. Dia juga meminta Disdik Kota Batam memberikan sanksi kepada sekolah yang semena-mena itu.
"Bila perlu izinnya dicabut. Ada bantuan dari pemerintah, masa membantu orang miskin tak bisa," ungkapnya.
Namun, pihak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Muhammadyah Batam di Batuaji membantah Khairani dilarang ikut UN karena menunggak SPP. Pihak sekolah menilai langkah Khairani yang mengadukan masalah ini ke DPRD Batam merupakan tindakan yang berlebihan.
Wakil Kesiswaan SMK Muhammadiyah Batam, Agus, membenarkan jika Khairani memiliki tunggakan senilai Rp 4.110.000. Tunggakan itu terdiri dari uang SPP mulai September 2015 sebanyak Rp 2.445.000 dan sisanya adalah tunggakan administrasi sekolah.
Namun demikian, Agus menegaskan pihak sekolah sama sekali tak mengeluarkan larangan kepada Khairani untuk tidak mengikuti UN tahun ini. "Itu tidak benar. Kalau lah kami mau (melarang UN) sudah dari dulu waktu ujian semester atau ujian akhir sekolah (UAS)," kata Agus, Jumat (1/4).
Agus mengakui, selama ini pihak sekolah sudah berkali-kali mengeluarkan peringatan kepada Khairani agar segera melunasi tunggakan itu. Namun Agus kembali menegaskan, peringatan itu bukan berarti larangan ikut UN.
Menurut Agus, peringatan pihak sekolah itu dinilai masih wajar. Sebab sejak September 2015, Khairani belum membayar SPP. Bahkan Khairani dinilai tidak punya itikad baik untuk membayarnya.
"Ya itu wajarlah, dimanapun sekolahnya kalau dicuekin sama sekali begitu pasti ada warning-nya," kata Agus.
sumber : jawapos