Di sebuah rumah berukuran 3x6 meter, seorang pria terbaring di tempat tidur yang sudah reyot. Sambil berbaring dengan mengenakan kaus hitam dan sarung motif kotak-kotak, dia tak berhenti memotong kayu dengan gergaji.
Sesekali pria ini tampak kesulitan mengambil kayu di atas kursi yang berada di depan tempat tidurnya karena tidak berada dalam jangkuan lengannya. Dia pun perlahan menggerakkan badannya sedikit ke depan untuk meraih kayu yang hendak dipotongnya.
Setelah memotongnya sesuai ukuran, kayu itu disusun dan dirangkainya menjadi sebuah sangkar burung. Sunardi (44) sehari-hari membuat sangkar burung untuk dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Masih terang dalam ingatan Sunardi, detik-detik peristiwa kecelakaan tahun 2007 lalu hingga menyebabkan kedua kakinya lumpuh. Saat itu, bus jurusan Wonosari-Baron yang dikernetinya mengalami kecelakaan dan terperosok masuk ke dalam jurang.
"Tahu-tahu remnya blong, bus oleng lalu masuk ke jurang. Ada beberapa penumpang saat itu," ujar Sunardi, Kamis (17/3/2016).
Saat peristiwa itu terjadi, Sunardi mencoba menyelamatkan seorang penumpang perempuan yang dalam kondisi hamil. Ia menarik dan melindungi perempuan tersebut agar tidak terguncang dan terbentur, namun kedua kakinya justru tergencet badan bus.
“Ibu itu selamat, hanya lecet-lecet. Tapi anak dalam kandungannya tidak selamat,” ungkap Sunardi.
Akibat tergencet badan bus itu, Sunardi harus dirawat di rumah sakit. Dia pun harus menerima kenyataan akibat cedera parah yang dialami, kedua kakinya tidak bisa berfungsi seperti semula.
“Saya dirawat di rumah sakit dan diberitahu kalau kaki saya seperti ini. Sulit menerima, tapi bagaimana pun harus diterima,” ucapnya.
Tak berhenti di situ, kenyataan pahit kembali dirasakan bapak dua anak ini. Beberapa bulan setelah keluar dari rumah sakit, Sunardi terpaksa harus berpisah dengan istrinya dan tinggal bersama orang tuanya di Padukuhan Ngalang-alang sari, Desa Planjan, kecamatan Saptosari, Gunungkidul.
“Anak-anak ikut saya tinggal di sini. Cobaan hidup seperti tidak berhenti,” ujarnya.
Dengan kondisi lumpuh dan tidak bisa bekerja lagi sebagai kernet, sehari-hari Sunardi hanya menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain. Berapa pun dan apa pun yang diberikan, dia gunakan untuk memenuhi hidup sehari-hari bersama kedua orang anaknya.
“Saya bingung mau kerja apa, dengan kondisi seperti ini. Ya terpaksa hanya hidup dari bantuan,” kata Sunardi.
Rintihan anak
Tiga tahun, lanjutnya, dia hidup dari belas kasihan orang lain. Hingga akhirnya ada satu peristiwa yang membuatnya kembali bangkit untuk bekerja. Peristiwa itu pun sampai saat ini masih diingatnya.
“Pak minta uang untuk jajan,” rintih anaknya meminta uang jajan sambil menangis kala itu.
“Dengar suara anak, saat itu hati saya langsung greeg karena tidak bisa memberi uang jajan. Itu melecut saya dengan kondisi seperti ini, saya harus bekerja," imbuhnya.
Mulai dari situlah, Sunardi bertekad untuk tidak mengandalkan belas kasihan orang lain semata. Bagaimana pun, dia adalah seorang ayah yang memiliki kewajiban untuk mengantarkan kedua anaknya menjadi orang yang sukses.
"Saya bertekad membesarkan kedua anak saya dan menghantarkan mereka sukses," tegasnya.
Meski harus sambil berbaring, Sunardi mencoba berkreasi sederhana dengan membuat layang-layang. Beberapa layang-layang yang sudah jadi, dia titipkan kepada temannya di sekitar pantai.
"Saya titipkan ke teman yang jualan di sekitar pantai. Ya lumayan lah, bisa ada penghasilan dari pada mengantungkan hidup dari orang," tandasnya.
Seiring berjalannya waktu, Sunardi lantas mempunyai ide membuat sangkar burung. Modalnya saat itu hanyalah kayu jati dan bambu.
Dari modal kayu jati dan bambu inilah, Sunardi berhasil membuat sangkar burung yang dijualnya dengan harga Rp 80.000-Rp 100.000.
Sangkar burung ukuran kecil sanggup dia selesaikan dalam waktu dua sampai tiga hari.
"Harganya tergantung besar kecilnya antara Rp 80.000 sampai Rp 100.000," ujarnya.
Berkat kemauan dan kerja kerasnya, Sunardi dapat menyekolahkan kedua anaknya. Bahkan anak pertamanya, Dedi Cahyo, telah lulus SMA dan saat ini bekerja di sebuah rumah makan. Sementara anak nomer dua, Hesti Nur Afiani, saat ini masih duduk di kelas VIII.
"Katanya gajinya kecil, tetapi dia (Dedi) niat mau menabung untuk biaya kuliah," pungkasnya.